Selasa, 20 Desember 2011

Venice Kota Romantis, Seruput Coffee Latte 1720


Menikmati Eropa, dari Roma hingga Istambul (1)
Kamis, 17 November 2011

Perjalanan ke Eropa tentu sudah dilakukan banyak orang dengan rute yang terkadang hampir sama. Catatan perjalanannya pun dapat dipastikan tak jauh berbeda. Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post yang mengakhiri perjalanan ke Eropa pekan lalu, mencoba berbagi cerita keunikan Benua Biru itu. Mulai dari nikmatnya suasana warung kopi di Venice, Italia yang berdiri sejak 1720, hingga spa dan pijat unik ala Turki.


JIKA bepergian ke mana pun, baik dalam maupun luar negeri, saya dan istri memang lebih suka menikmati keunikan-keunikan lokal. Bukannya belanja luxurious productsatau hunting cenderamata. Mendapatkan experience keunikan lokal lebih nikmat rasanya dibanding belanja.

Ketika merancang perjalanan ke Eropa yang dimulai dari Italia pertengahan Oktober hingga awal November 2011, Venice atau Venezia menjadi salah satu tujuan utama kami. Bahkan, tempat yang wajib didatangi di kota Italia Utara itu, yakni Caffé Florian, warung kopi yang dibangun sejak tahun 1720.

Bagi saya, Venice menjadi tujuan utama yang harus dikunjungi, karena kota yang berpenduduk sekitar 272.000 jiwa ini dikenal dengan seribu keunikan dan sejarahnya. Mulai dari sebutan kota paling romantis di Eropa selain Paris, hingga keindahan arsitek sejak periode Renaisans akhir abad 13. Kota ini juga punya peran penting terhadap perkembangan sejarah musik opera hingga kota kelahiran musisi terkenal, Antonio Vivaldi.

Venicejuga identik dengan air. Ini karena kotanya terdiri dari 117 pulau kecil yang terhubungkan dengan 150 jembatan dan 400-an kanal. Karena itu, Venice juga disebut sebagai kota kanal. Letaknya tepat di bibir Laut Adriatik di timur laut Italia.

Untuk menuju ke Venice, kami yang mengendarai bus melintasi jembatan panjang Ponte della Liberta yang menghubungkan Venice dan Mestre. Kami turun di Piazalle Roma atau Tronchetto dan berjalan kaki menuju dermaga penyeberangan Bacino Stazione Maritima. Dengan mengendarai taksi air, perjalanan membelah Grand Canal menuju Piazza San Marco, Venicedapat ditempuh sekitar 30 menit.

Di Kota Venice tak ada mobil atau kendaraan bermotor. Sarana transportasinya hanyalah perahu bermotor atau berjalan kaki menelusuri jalan-jalan setapak. Karena itu juga di Venice terkenal sampan dayung tradisional yang disebut gondola. Uniknya, sambil menelusuri kanal-kanal sempit menggunakan gondola, si pengayuh sampan tak jarang bernyanyi dan sesekali bersiul irama lagu-lagu tradisional Italia. Romantic abizz dah!

Saat di Venice, cuaca ketika itu cerah. Walau matahari lumayan menyilaukan mata, hawa terasa dingin karena memang mulai memasuki musim dingin, sehingga jaket pun tak pernah lepas dari badan. Tampak banyak burung dara berkeliaran di Piazza San Marco, lokasi favorit di Venice. Anak-anak saya , Aqil dan Akmal puas bermain burung dara dengan memberinya potongan roti.

Mata saya terus menerus menuju Caffe Florian yang satu lokasi dengan tempat kerumunan burung. Ada live music yang dimainkan oleh pemusik lokal saat itu. Permainan alat musik yang sungguh apik, terdiri dari piano, flute, biola, dan accordion. Tak jarang pengunjung berdansa di depan kafe atau sekadar melihat dari dekat.

Tak lama kemudian kami memutuskan untuk duduk di Caffe Florian, tak jauh dari panggung musik karena memang ingin menikmati suasananya. Di dalam gedung masih ada ruangan yang tertata bergaya Italia klasik. Dan ternyata, menikmati suasana dengan mendengar musik klasik harus dibayar dengan harga 6 EUR per lagunya. Di nota pembayaran tertera Supplemento Musica 2 x 6,00. Artinya, selama duduk di situ, kami menikmati 2 lagu dan harus membayar EUR 12 atau Rp 148.800. Sebenarnya kalau saya hitung, mungkin ada 5 lagu yang saya nikmati. Mungkin diskon 3 lagu sehingga hanya membayar 2 lagu. Entahlah…

Pelayanannya sangat ramah dan terus menerus melayani sejak kami datang. Untuk makan dan minum, saya pesan dua Pizza Florian, satu Club Sandwich Tacchino, 1 Coffee Latte dan dua hot tea English breakfast. Semua pesanan ini plus 2 musik tadi, saya harus membayar sebesar EUR 81,50 atau setara Rp 1.010.600. Ini belum termasuk uang tip yang sukarela saya tinggalkan di meja sebesar EUR 5. Cukup mahal memang. Ini diakui oleh beberapa pengunjung yang saya temui di beberapa web di internet, walau tak sedikit juga yang mengatakan harga itu tak mahal karena kita mendapatkan suasana yang menarik, yang tak bisa kita dapatkan di tempat lain. Saya sependapat dengan komentar terakhir. Romantisme, keunikan, sejarah dan keramahan yang tak bisa didapat di tempat lain, telah saya dapatkan di Caffe Florian.

Kafe ini sudah dibuka sejak 29 Desember 1720. Dari berbagai sumber yang saya himpun menyebutkan, sebenarnya saat pertama kali dibuka, kafe ini bernama Caffe Alla Venezia Trionfante (Café Triumphant Venice). Tapi kemudian lebih dikenal dengan nama Caffe Florian karena nama pemiliknya Floriano Francesconi. Kafe ini kemudian cukup dikenal banyak kalangan dan menjadi tempat favorit sejumlah nama-nama besar seperti dramawan asal Venice Carlo Osvaldo Goldoni, Johann Wolfgang von Goethe (penulis Jerman, seniman bergambar, ahli biologi, fisikawan teoretis ), Giacomo Girolamo Casanova de Seingalt (penulis asal Venice), Lord Byron atau George Gordon Byron (penyair Inggris) Marcel Proust (pengarang cerita roman Prancis, pengkritik), dan Charles Dickens (pengarang cerita roman Inggris).

Caffe Florian juga menjadi tempat kali pertama surat Kabar Gazzetta Veneta dapat dibeli. Kafe ini menjadi tempat editor Gazzetta Veneta bekerja termasuk Gasparo Gozzi , tokoh sejarah Italia yang dikenal sebagai penyair dan pengkritik yang juga wartawan Gazzetta Veneta. Selain itu, Caffé Florian menjadi tempat bertemunya banyak kalangan dengan berbagai urusan, mulai dari urusan seni hingga politik.

Salah satu sejarah Italia bahkan dunia yang ‘dilahirkan’ di Caffe Florian adalah The Venice Biennale dalam pertemuan di Senate Room of caffe, salah satu dari 4 ruangan di Caffe Florian. The Venice Biennale adalah pameran kesenian kontemporer utama yang dilaksanakan dua tahun sekali di Venice, termasuk Venice Film Festival dan International Festival of Contemporary Dance di dalamnya .

Pada awal abad ke 19, Valentino Francesconi, cucu laki-laki Floriano Francesconi, mengambil alih bisnis itu dan membuat Caffe Florian semakin menarik. Lukisan asli para tokoh besar asal Venice (Venetians) pun menghiasi dinding kafe. Sebut saja beberapa di antaranya Goldoni, Marco Polo, Titian, Francesco Morosini, Pietro Orseolo, Andrea Palladio, Benedetto Marcello, Paolo Sarpi, Vettor Pisani dan Enrico Dandolo. Lukisan-lukisan ini masih bisa disaksikan hingga saat ini, termasuk lukisan perempuan dari yang berbusana hingga tanpa busana.

Selain lukisan, dinding Caffe Florian banyak dihiasi cermin-cermin besar berbingkai klasik. Ada juga ruangan yang khusus menempatkan lukisan Italia Modern. Tak sedikit lukisan-lukisan yang dipajang dipinjamkan ke sejumlah museum seluruh dunia, termasuk Centre Pompidour and Guggenheim di New York.

Kalau melihat sejarah panjang Caffe Florian di Venice, rasanya tak sayang jika harus mengeluarkan uang 81,50 EUR. Toh kita sudah punya cerita, pernah nongkrong di kafe yang jadi tempat favoritnya Carlo Osvaldo Goldoni, Marcel Proust, dan nama-nama besar lainnya. Belum lagi layanan yang ia tawarkan; romantis! (far)

Prancis Klaim France Coffee, Sama dengan Espresso-nya Italia


Menikmati Eropa, dari Roma hingga Istanbul (2)

Kaltim Post, Jum'at, 18 November 2011

Tulisan kedua ini masih tentang kopi. Maklum, kopi sangat mewarnai kehidupan orang Eropa khususnya Italia, Prancis, Belanda, dan Turki yang berbatasan dengan Asia. Hampir di setiap sudut kota gampang ditemui kedai kopi. Bahkan Prancis mengklaim punya gaya minum kopi sendiri dan menyebutnya sebagai France Coffee (kopi Perancis). Berikut tulisan kedua Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post, yang menyambangi Eropa pertengahan Oktober lalu.

PERJALANAN ke Eropa bersama keluarga dimulai dari Italia, Vatikan, Swiss, Jerman, Belanda, Belgia, Prancis, dan berakhir di Turki. Beberapa kota pun dilalui. Sebut saja antara lain Roma, Milan, Venice, Frankfurt, Koln hingga Amsterdam. Selama perjalanan, saya memang sering nongkrong dan mengamati coffee shop atau kedai kopi. Mulai dari menikmati cita rasa kopi di setiap negara, menangkap iklim bisnis warung kopi, proses pembuatan, sampai mengamati pola layanan dan tata saji. Maklum, salah satu bisnis saya adalah warung kopi waralaba. Sehingga harus banyak memahami soal minuman ini.

Selain kedai kopi, hampir di setiap supermarket di Eropa terdapat mesin kopi self service, atau mesin kopi otomatis yang akan mengeluarkan kopi dengan memasukkan uang logam terlebih dahulu. Rata-rata harga per gelasnya (cup) bervariasi antara 1,5 EUR dan 2 EUR. Berbeda jika ngopinya di coffee shop, harganya bisa mencapai 5 EUR per gelas atau Rp 62 ribu. Bahkan 9 EUR di Caffee Florian, Venice, Italia. Harga ini pun masih berbeda jika kita duduk di luar atau bagian teras kedai kopi, terlebih di Paris. Harganya jadi lebih mahal ketimbang duduk di dalam.

“Orang Prancis suka mejeng duduk di teras luar coffee shop. Oleh pengusaha coffee shop kemudian harganya jadi lebih mahal kalau kita duduk di luar,” kata Peter Njo, seorang tour leader dari Jakarta saat kami berada di Paris.

Pemerintah setempat memang memperbolehkan sebagian trotoarnya dipakai untuk kedai kopi dan menyewakannya yang dibayar per bulan. Jadi wajar saja harga makan-minum jadi lebih mahal ketimbang duduk di dalam. Padahal jika musim dingin duduk di teras luar, bisa dibayangkan seperti apa situasinya. Belum lagi orang yang ramai hilir mudik di trotoar.

Dalam soal ‘iklim’ berkedai kopi, harus diakui Paris lebih semarak ketimbang Italia yang selama ini identik dengan negara penggemar kopi. Paris lebih ramai, baik dalam soal tampilan maupun pengunjungnya. Berbeda dengan kebanyakan kedai kopi di sejumlah kota yang saya singgahi di Italia. Bahkan Prancis punya kopi sendiri. Jika di Italia ada espresso, latte, nespresso cappuccino, cappuccino hingga cafe moka, di Paris ada cafe au lait, cafe creme, cafe decaffeine hingga cafe noisette.

Untuk urusan kopi, pelayan kedai kopi di Paris punya guyonan yang cenderung mengolok. Ketika itu saya pesan espresso, sang pelayan menjawab bahwa kedai kopinya tak menjual espresso, tetapi French Coffee. Kemudian saya pesan Americano (kopi ala amerika), tiba-tiba dengan mimik agak serius ia berkata, ”Apakah kamu serius pesan Americano? French coffee jauh lebih enak. Bagi kami orang Prancis, Americano itu hanya untuk air cucian kain kotor.”

Maklum, Americano memang kopi cair yang disajikan di gelas besar. Sementara French Coffee adalah kopi kental di gelas kecil layaknya espresso-nya orang Itali, lengkap dengan krim yang kental berwarna kuning emas. Délicieux!

Lantas, mengapa kopi begitu disukai orang Eropa? Ini tak lepas dari sejarahnya. Dari berbagai sumber yang dihimpun, kopi pertama kali ditemukan suku Galla di Afrika Timursekitar 3000 tahun (1000 SM). Seiring dengan meluasnya perdagangan pedagang Arab Saudi hingga ke Afrika, kopi pun menjadi komoditas dijual hingga ke Turki bersamaan dengan penyebaran agama Islam. Orang Turki menyebutnya Kahve. Kedai kopi yang pertama kali dibuka di Turki, bernama Kiva Hantahun 1475.

Biji kopi dibawa masuk pertama kali ke Eropasecara resmi pada tahun 1615oleh seorang saudagar Venice,Italia. Ia mendapatkan pasokan biji kopi dari orang Turki, sekaligus perdagangan tembakau antara Turki-Venice. Pada masa itu kebutuhan akan biji kopi terus meningkat. Pasokan dari Turki tidak mencukupi untuk memenuhi pasar Eropa, sehingga negara-negara di Eropa kemudian mulai membudidayakannya.

Belandaadalah salah satu negara Eropa pertama yang berhasil membudidayakannya pada 1616.Kemudian pada 1690, biji kopi dibawa ke Pulau Jawa, Indonesia untuk dikembangkan secara besar-besaran. Pada saat itu Indonesiamasih merupakan negara jajahan Kolonial Belanda.

Melihat minat masyarakat Venice yang begitu besar terhadap kopi, baru kemudian tahun 1640 lahir kedai kopi pertama di Venice, Italia. Sedangkan di Paris, kedai kopi kali pertama dibuka tahun 1689 bernama Café de Procope. Hingga kini Anda masih bisa menikmati Café de Procope yang beroperasi di 13 rue de l'Ancienne Comédie Paris.

Ada satu lagi coffee shop terkenal di Paris bernama Fouquet’s. Coffee shop yang berlokasi di kawasan paling mahal Champ Elleese ini menurut Peter, merupakan coffee shop tempat nongkrongnya para selebritis. Lokasinya bersebelahan dengan House of Louis Vuitton (LV) dan berseberangan dengan Lido, tempat pertunjukan kabaret eksklusif di Paris.

Sayang, saya tak sempat nongkrong di Fouquet’s karena padatnya kegiatan selama di Paris. Yang pasti, saya sudah menikmati rasanya kopi berbagai negara di Eropa. Saya tetap jatuh cinta pada kopi Italia dan agak menghindari kopi Turki. Rasanya kurang pas di Lidah saya. Ini soal selera saja! (far)

Perawatan Tubuh ala Turki, Dimandikan seperti Bayi


Menikmati Eropa, dari Roma hingga Istanbul (3-Habis)
Kaltim Post, Sabtu, 19 November 2011

Spa dan pijat ala Indonesia bagi kita sudah pasti tak asing lagi. Tapi bagaimana pula dengan spa dan pijat tradisional ala Turki? Komentar saya; amazing! Sebuah pengalaman menarik yang agak sulit melupakannya, sebuah proses perawatan tubuh milik kesultanan Turki yang sudah dimulai sejak 1584. Berikut cerita terakhir Eko Satiya Hushada, mantan wartawan Kaltim Post, yang pekan lalu berkunjung ke Eropa termasuk Istanbul, Turki.

TURKI menjadi negara terakhir yang saya kunjungi bersama keluarga, tepatnya di Kota Istanbul. Turki merupakan negara yang menjadi perbatasan antara Asia dan Eropa, sehingga Turki dikenal sebagai negara transkontinental. Ibu kota Turki berada di Kota Ankara. Tapi Istanbul menjadi kota terpenting dan terbesar di negara dengan sejuta keunikan lokal peninggalan zaman kesultanan.

Berada di kota ini bagaikan sedang hidup di masa kesultanan karena pemerintah dan masyarakatnya mempertahankan banyak bangunan bergaya timur tengah kuno. Wisatawan mancanegara tumpek blek di kota ini. Bahkan untuk membeli karcis masuk ke museum saja harus melalui antrean panjang.

Setelah keliling Eropa selama 15 hari, badan mulai terasa pegal sehingga muncul ide untuk melakukan relaksasi. Istri saya, Dian Rossalina kemudian mengajak saya untuk melakukan pijat tradisional ala Turki, yang mereka sebut hamam. Ternyata istri saya sudah merencanakan akan ke hamam jika tiba di Istanbul. Sebelum itu, kami keliling dulu ke Blue Mosque, Hagia Sophia, Grand Bazaar hingga ke pasar rempah sekitar 1 kilometer dari Grand Bazaar. Belanja bumbu lokal menjadi salah satu hobi saya jika bepergian ke negara manapun.

Setelah kaki mulai letih, kami menuju Cemberlitas Hamami, tempat hamam yang lokasinya di jantung kota Istanbul, berdekatan dengan Grand Bazaar, pusat perbelanjaan tradisional yang di dalamnya terdapat sekitar empat ribuan kios. Mau belanja cenderamata, di sinilah tempatnya.

Dari depan, gedung Cemberlitas Hamam kelihatannya kecil, hanya pintu dua daun dengan sepuluh anak tangga menurun. Menurut perempuan petugas penerima tamu, saat pertama kali dibangun tahun 1584 oleh arsitek Mimar Sinan yang juga merancang Suleymaniye Mosque, Istanbul, gedung Cemberlitas Hamami ini sama tingginya dengan jalan raya. Namun kini berada di bawah karena jalan raya yang terus mengalami penimbunan dan perbaikan.

Cemberlitas adalah nama usahanya, sementara hamam adalah sebutan untuk kegiatan pemijatan tradisional ala Turki. Mulai dibangun dan beroperasi sejak tahun 1584 atas perintah istri Sultan Selim II yang juga ibu Sultan Murat III. Cemberlitas Hamami merupakan tempat hamam tertua di Istanbul, yang pendiriannya bertujuan sebagai sumber pendapatan bagi pembiayaan sejumlah sarana dan prasarana kesultanan ketika itu. Namun disebutkan juga, Cemberlitas Hamami ini menjadi tempat berkumpulnya istri sultan bersama teman-temannya untuk melakukan perawatan tubuh sekaligus bercerita soal banyak hal.

Saat masih berada di ruang tamu untuk memilih jenis paket hamam, masih belum terasa bahwa gedung tersebut dibangun 427 tahun yang lalu. Suasananya lebih kelihatan seperti losmen tradisional, dengan kamar-kamar kecil tampak di lantai 2 serta tumpukan handuk dan kain. Tampak juga sejumlah lelaki setengah tua duduk sambil bercerita. Di sisi lain ada bar tradisional tempat pembuatan minum, serta di sisi kanan gedung ruang penjualan kelengkapan hamam yang bisa dibawa pulang.

“Come on sir, come on…” ajak seorang pria setengah tua tadi. Ia menunjuk sebuah ruang di lantai 2 sambil menyerahkan kain bergaris-garis warna merah. Di ruangan itu, saya melepas semua pakaian dan hanya menggunakan selembar kain bergaris merah tadi. Ada juga sepasang sandal kayu sebagai pengganti sepatu. Semua barang ditinggal di kamar. Kamar saya kunci dan memasangkan anak kuncinya di tangan karena menggunakan karet gelang.

Kembali saya di arahkan turun menuju lantai 1 tadi, namun berjalan ke arah belakang. Di sini lah kemudian saya agak terperangah, menyaksikan sebuah ruangan kuno nan hangat dengan kubah besar di atasnya, sementara di bawah kubah terdapat lantai marmer yang cukup luas, seperti layaknya dipan raksasa. Banyak lelaki tanpa busana -- hanya mengenakan kain menutupi bagian vital, berbaring di atas marmer yang ternyata hangat itu. Saya jadi teringat wajan penjual martabak di Samarinda, karena rata-rata tubuh lelaki yang ada di atasnya sudah mulai memerah seperti daging setengah matang.

Di sudut lain, ada lelaki sedang digosok dengan busa yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Ada pula yang sedang dimandikan dengan cara menyiram menggunakan gayung yang terbuat dari kuningan. Semua dikerjakan oleh laki-laki setengah tua, yang juga hanya mengenakan kain untuk menutupi bawah pinggang hingga atas dengkul. Betul-betul suasana yang unik.

Antara lelaki dan perempuan lokasinya dipisah. Bahkan menurut cerita istri saya, di tempat perempuan malah tidak mengenakan penutup dada, hanya selembar kain seperti yang digunakan pria. “Ya kelihatan gitu dadanya. Lucu, unik, tapi uenak banget,” ujar istri saya usai hamam, lantas tertawa.

Sambil menunggu giliran “dikerjai”, saya baring di atas marmer yang hangat tadi. Saya pandangi kubah di atasnya, tampak sinar matahari masuk melalui lubang-lubang kecil yang memang bagian dari fungsi bangunan. Tak sampai 10 menit, saya dipanggil oleh seorang lelaki setengah tua berkumis khas Turki. Dia ambil kain gosok dan sabun yang memang saya bawa saat mendaftar di depan tadi.

Setelah memberi aba-aba agar saya tidur telentang, tiba-tiba lelaki tadi menyiram seluruh tubuh saya dengan air hangat. Setelah disiram dan disikat dengan kain agak kasar serta sabun batangan, saya diminta untuk telungkup. Semua badan saya digosok hingga badan penuh dengan busa. Disiram lagi dan giliran kepala dicuci sambil dipijat dengan posisi duduk dekat bak kecil. Persis seperti bapak memandikan anaknya. Kalau tak salah hitung, ada sekitar 15 menit saya disikat, dibolak-balik, digerujukin hingga badan bersih kembali dari busa.

“Ok, finish, Sir. Change your cloth and massage (baik pak, selesai. Silakan ganti kain Anda dan pijat,” ujarnya sambil mengarahkan saya ke sebuah ruangan lain. Di ruang ganti kain, lagi-lagi badan saya dielapin oleh seorang lelaki tua, bahkan memasangkan kain kering ke pinggang saya.

Setelah itu saya masuk ke ruang pijat yang ternyata sudah ditunggu oleh lelaki muda dengan badan yang besar. “Alamak, pasti kuat betul pijatnya ini,” kata saya dalam hati. Ternyata perkiraan saya ada benarnya. Tangannya sungguh kuat tapi tetap enak saja.

Sekitar setengah jam dipijat, saya kembali mandi air hangat di kamar mandi –kali ini mandi sendiri, dan kembali mengenakan baju yang semula saya pakai. Di ruang depan, disuguhi minuman hangat sesuai pilihan kita. Enaknya minta ampun. Berat badan saya rasanya hilang separoh. Tak lama, istri saya keluar dari ruangan perempuan. Bedanya layanan perempuan dengan lelaki, perempuan ada kolam jacuccy sebelum dipijat, walau harganya sama, yakni 86 Lira atau sekitar Rp 600 ribu/orang.

Menurut beberapa sumber yang saya himpun menyebutkan, hamam mengadopsi gaya perawatan tubuh ala Romawi kuno. Yang pasti, lenyap sudah rasa lelah keliling Eropa hampir setengah bulan. Setelah segar kembali, saya dan istri menyiapkan diri untuk makan malam sambil menyaksikan belly dance, tari perut khas Turki yang seksi. (far)

Sabtu, 31 Januari 2009

Maju Karena Gaya Kepemimpinan


oleh: Eko Satiya Hushada
(mantan wartawan Kaltim Post)
KALTIM POST, 7 JANUARI 2009

BISA bekerja di Grup Kaltim Post, bagi saya adalah anugerah yang selalu saya syukuri hingga kini. Kaltim Post menempah saya menjadi ‘manusia’. Saya punya tiga guru di Kaltim Post, yang salah satunya sudah menjadi Wakil Walikota Balikpapan, Pak Rizal Effendi. Dua guru lainnya, yakni Pak Zainal Muttaqien dan Pak Syafril Teha Noer. Menariknya, dari ketiga guru ini, saya mendapatkan tiga ilmu yang berbeda.
Dari Pak Zainal, saya mendapat ilmu bagaimana menjadi seorang pemimpin yang tangguh, bisa menyelesaikan persoalan seberat apapun dan mampu menjadi ‘pendobrak’ dari yang tidak ada menjadi ada serta kepemimpinan yang demokratis namun tegas.
Di setiap kesempatan bertemu, Pak Zainal selalu bercerita tentang hal-hal yang dia alami dan dia lakukan dalam menyelesaikan sejumlah masalah. Ibarat pelajaran, bab demi bab ditularkan secara berkesinambungan oleh Pak Zainal. Makasih, Pak Zainal!
Dari Pak Syafril, mengingat beliau adalah seniman, saya mendapat banyak pelajaran bagaimana memimpin dengan nurani yang berpihak pada akal sehat, tidak cengeng dan menjadi pemimpin yang dewasa. Sampai ada istilah pesantren Al jalaniah, diadopsi dari kata ‘pesantren di jalan’. Ini karena saya sering menyetiri Pak Syafril setiap kami rapat manajemen di Balikpapan, dan di sepanjang jalan, Pak Syafril selalu menceramahi saya untuk masalah apapun, bahkan untuk urusan mengendalikan emosi.
“Jangan kau marah kalau disalip orang. Mungkin ibunya sakit sehingga dia ngebut. Atau mungkin neneknya yang sakit. Jangan gampang kali kau terpancing!” kata Pak Syafril dengan gaya Sumateranya. Maklum, kami memang sama-sama berasal Sumatera. Saya Medan, Pak Syafril Padang, Sumatera Barat. Dia selalu bicara blak-blakan dengan saya. Alhamdulillah bisa menjadi murid Pak Syafril.
Terakhir, Pak Rizal Effendi. Jujur, saya dulu kerap tidak sepaham dengan Pak Rizal dalam urusan kebijakan redaksi. Maklum, saya ketika itu adalah anak muda yang emosinya masih meledak-ledak, yang kalau melihat persoalan dengan syahwat emosional. “Kalau pejabat itu korupsi, dia harus masuk penjara. Jangan separoh-separoh memberitakan!” kira-kira seperti inilah sikap saya dalam rapat-rapat redaksi.
Tulisan-tulisan saya pun kerap mengundang ketidaknyamanan di banyak pihak. Bahkan, kantor Kaltim Post Biro Samarinda yang ketika itu di Jln Cendrawasih (sekarang A Yani), sempat diserang oleh sekelompok pemuda tak dikenal yang mencari saya. Untung ketika itu saya sedang bertugas di Balikpapan. Jika tidak, habislah saya!
Pak Rizal, yang saat itu menjabat Pemimpin Redaksi, selalu mengingatkan saya agar menjadi wartawan yang arif dan bijak dalam melihat persoalan. Jangan melihat persoalan di permukaan saja. Kata Pak Rizal,”Anda harus banyak belajar, jangan melihat yang hitam itu hitam, yang putih itu putih. Kita ini berada di sebuah belantara yang harus dilalui dengan mata hati, arif, bijak dan taktis.”
Yang pasti, Pak Rizal orangnya sangat humanis --dan juga sangat humoris. Semarah-marahnya Pak Rizal, beliau tetap memomong kami, anak buahnya. Jika malamnya marah, paginya pasti nelpon sekedar bertanya apa liputan hari ini, bagaimana perkembangan kasus ini dan hal-hal lainnya.
Bagi saya, ‘pencucian dosa’ saya dengan Pak Rizal adalah momen hari raya. Maaf lahir dan bathin, yang dilanjutkan dengan hidangan soto Banjar khas Pak Rizal. Maafkan saya Pak Rizal, saya jadi murid yang nakal ketika itu!
Kata syukur selalu ada di hati saya. Saya yang mundur dari Kaltim Post tahun 2004, merasa tidak bisa seperti ini jika tidak pernah bekerja di Kaltim Post.
Kaltim Post sukses membangun kerajaan bisnisnya, karena sukses membangun manusianya lewat pola kepemimpinannya. Pak Zainal, Pak Syafril, Pak Rizal dan para pemimpin lainnya memberi keleluasaan kepada awaknya untuk melakukan apapun yang dinilai dapat memberi hal positif bagi perusahaan. Kami bebas berkereasi dan berpendapat.
Dalam urusan membuat koran baru pun, saya diberi keleluasaan untuk berkarya, menentukan nasibnya. Tak ada arahan detil, koran apa yang mau dibuat. Intinya, buat koran dan harus maju.
Saat Samarinda Pos mau berdiri, saya dipanggil Pak Zainal ke Balikpapan. Saya ketika itu masih wartawan di biro Samarinda. Di ruang kerjanya, Pak Zainal berkata,”Ko, Anda buat Koran di Samarinda ya!”
Saya Tanya,”Koran apa, Pak?”
“Terserah Anda, Koran apa yang laku di sana. Siapkan segala sesuatunya. Aku nggak mau tahu, pokoknya harus jalan,” kata Pak Zainal.
Saya pun bingung mau buat Koran apa, hingga akhirnya terbitlah Samarinda Post dengan format berita politik. Maklum, saya ketika itu lama di liputan politik dan suhu politik sedang hangat-hangatnya berkenaann dengan tuntutan Soeharto mundur.
Tapi ternyata saya saya salah hitung, Samarinda tidak cukup menerima Koran politik, yang kemudian mengharuskan kami memutar otak dan Samarinda Pos menjadi Koran kriminal atau metro. Hasilnya, alhamdulillah cukup baik hingga sekarang.
Begitu juga terhadap ide-ide perubahan lainnya, yang selalu diterima oleh manajemen. Alhamdulillah, selama bekerja di Kaltim Post, saya mendapat kesempatan menempati sejumlah pos, mulai dari redaksi, pemasaran hingga iklan. Selama menempati pos-pos ini, kebebasan berkarya selalu diberikan. Ketika menghasilkan sebuah karya yang berharga, manajemen memberi penghargaan yang setimpal, bahkan lebih menurut saya. Mulai dari gaji yang tinggi plus bonus dan deviden tahunan hingga fasilitas lainnya seperti kendaraan dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. “Penghargaan datangnya belakangan. Perusahaan tidak pernah tutup mata terhadap prestasi karyawannya,” kata Pak Zainal suatu ketika.
Nikmat betul bekerja di Kaltim Post. Saya selalu kangen dengan suasananya. Bang Silaban yang selalu membawa cerita lucu dan ilmu baru –kami juluki ia si kamus berjalan--, Pak Syafril yang tiba-tiba nyanyi dengan suara kencang “endeskay..endeskay…” sebuah lagu andalan Pak Syafril menjelang deadline. Ibu Ludia Sampe yang juga selalu membawa cerita kegemasannya terhadap persoalan tertentu. “de..de..de..de..de.. Gemas sekali saya dengan dia itu. Banyak bohongnya,” ujar ibu Ludia menceritakan seseorang. Ah, kangen aku! Selamat Ulang Tahun, Kaltim Post! (penulis kini menjadi Direktur PT Esa Communication, konsultan merek & public relation di Samarinda)

TAG LINE

Oleh:
Eko Satiya Hushada
KALTIM POST, Sabtu, 13 Mei 2006

JUDUL di atas bisa jadi sebuah kata yang asing bagi sebagian pembaca. Kata ini sering ditemui di majalah ekonomi maupun majalah komunikasi (komunikasi pemasaran, kehumasan dan periklanan).
Di Kamus Istilah Periklanan Indonesia terbitan Matari Advertsing-Gramedia disebutkan, tag line atau slogan citra, yakni kalimat singkat sebagai penutup teks inti yang menyimpulkan secara singkat tujuan komunikasi sebuah iklan.
Saya mencoba memperkaya arti tag line, yakni slogan yang menegaskan positioning dan citra sebuah produk pada sebuah iklan. Dalam sebuah iklan, tag line ini lah yang menjadi kata penting untuk ditanamkan di benak konsumen. Sebut saja tag line Nokia; Connecting people, untuk menjelaskan bahwa Nokia sebagai produk yang sangat mengerti kebutuhan manusia. Kemudian, Oriflame yang mengusung tag line Natural Swedish Cosmetics, atau BNI dengan tag line-nya Melayani Negeri Kebanggaan Bangsa, serta Rinso dengan tag line Berani Kotor Itu Baik.
Esa Communications yang saya pimpin, sudah melahirkan beberapa tag line untuk klien kami. Untuk PT Pelangi Nautika, sebuah perusahaan biro perjalanan di Samarinda, diciptakan tag line “Terbang Bersama Pelangi”. Artinya, untuk urusan terbang, ya Pelangi Nautika.
Kemudian tag line “Saatnya Rakyat Memimpin”, untuk pasangan Ridwan Suwidi-Hatta Gariet ketika harus memenangkan Pilkada di Kabupaten Pasir. Tag line ini lahir mengingat Pasir sebelumnya dipimpin oleh birokrat. Untuk memberikan hasil pembangunan yang lebih pada rakyat Pasir, kini saatnya rakyat yang menjadi pemimpin. Siapa rakyat yang harus memimpin? Dia adalah Ridwan Suwidi, yang puluhan tahun menjadi wakil rakyat di DPRD. Tag line ini pula yang menjadi tema utama kampanye Ridwan-Hatta hingga kemudian memenangkan Pilkada di Pasir.
Sementara untuk Pilkada Bontang, diciptakan tag line “Pastikan yang Pasti” untuk pasangan Sofyan Hasdam-Sjahid Daroini. Ini untuk menegaskan kepada pemilih, agar memastikan memilih figur yang pasti. Pasti programnya, pasti karyanya, seperti yang tercantum di sejumlah iklannya.
Mengapa untuk urusan Pilkada diciptakan tag line? Karena kandidat juga diibaratkan sebuah produk, yang citra atau brandnya harus dibangun dan ditancapkan di benak pemilih. Sehingga dalam komunikasi pemasarannya, diciptakan tag line untuk mendukung kampanyenya.
Tag line dalam sebuah komunikasi pemasaran guna membentuk brand adalah mutlak. Baik untuk mengkomunikasikan produk atau jasa kepada konsumennya.
Di daerah, sudah saatnya kita mulai era tag line. Dalam membuat papan nama atau billboard sebagai identitas tempat usaha, tak lagi hanya sebatas menulis nama usaha dan alamat lengkap. Tetapi juga menempatkan tag line di sana.
Bahkan untuk warung nasi kuning sekalipun, tag line sangat mendukung upaya menarik pelanggan. Misalnya, Warung Nasi Kuning Haji Sukur, dengan tag line “Memulai Pagi Hanya di Sini”. Atau Toko Alat Bangunan Murah Rezeki, dengan tag line “Membangun dengan Kekuatan”. Ayo, kita coba! (penulis adalah direktur utama Esa Communications, praktisi komunikasi pemasaran, tinggal di Samarinda)

Pertama; Nyaman, Kedua; Rasa

Oleh: Eko Satiya Hushada
KALTIM POST, Sabtu, 13 Mei 2006

BARU-BARU ini Esa Communications (Escomm) melakukan riset pasar di Mal Lembuswana, untuk kepentingan kegiatan komunikasi pemasaran klien Escomm di mal tersebut. Riset pasar itu untuk mencari tahu tingkat pengetahuan pengunjung Mal Lembuswana terhadap kafe yang menjadi klien Escomm, media promosi yang efektif digunakan di mal serta hal pendukung lainnya.
Banyak temuan menarik dari riset pasar tersebut. Riset menggunakan metode incidentil sampling dan tehnik wawancara in deep Interview (wawancara mendalam), dengan responden sebanyak 150 orang. Dari 150 responden, 92 orang pria dan 58 orang prempuan, berusia 20-23 tahun sebanyak 42 orang, 24-30 tahun 59 orang dan 31-40 tahun sebanyak 49 orang.
Hasil riset pasar ini bisa jadi cukup berarti bagi Anda pebisnis rumah makan atau kafe. Soal kenyamanan rumah makan, Anda perlu memberi perhatian serius di samping cita rasa makanan. Dari 150 responden, sebanyak 76 responden atau 51 % menjawab, bahwa kenyamanan menjadi fator nomor satu mereka mendatangi sebuah rumah makan atau kafe. Soal rasa makanan-minuman yang dijual, itu menempati posisi nomor dua (33%). Sedangkan soal harga, itu berada di posisi nomor tiga (11%).
Untuk itu, membangun imej tempat usaha Anda sebagai tempat makan dengan suasana yang nyaman dan cita rasa menu yang menarik adalah penting. “Kami Tawarkan Kenyamanan dan Kenikmatan Sajian”, bisa jadi salah satu tag line untuk usaha rumah makan Anda.
Selain itu, menu beragam juga menjadi pilihan pertama responden ketika menentukan rumah makan atau kafe mana yang akan didatangi. Sebuah tempat makan yang menawarkan menu beragam karena menghadirkan banyak tenan di Mal Lembuswana menjadi pilihan favorit juga.
Informasi menarik lainnya dari hasil riset ini, pemasangan iklan in door di arena Mal Lembuswana cukup efektif. Ada 26 responden yang menjawab mereka tahu adanya sebuah kafe di Mal Lembuswana dari X-Banner yang dipasang di sana. Brosur pun menjadi alat promosi efektif untuk jenis below the line (promosi lini bawah), untuk memasarkan produk di pusat perbelanjaan khususnya Mal Lembuswana. Dari 150 responden, 77 responden mengaku bahwa mereka mengetahui sebuah produk bersumber dari brosur yang dibagikan di mal, selain berpromosi di surat kabar untuk jenis promosi above the line (promosi lini atas). (penulis adalah dirut Esa Communications, praktisi komunikasi pemasaran, tinggal di Samarinda. ekosahus@yahoo.com)

Amplang vs Cemilan Cik Gu

Oleh:
Eko Satiya Hushada
KALTIM POST, Kamis, 27 April 2006

COBA lihat deretan rak barang di supermarket maupun mini market di daerah ini, agak sulit menemukan Amplang, makanan khas Samarinda. Akan lebih mudah menemukan cemilan sejenis yang diproduksi negara tetangga, Malaysia. Jangan buru-buru menyalahkan pemilik supermarket. Karena ini hukum pasar. Tak ada permintaan konsumen, maka Amplang pun tidak mendapat tempat di rak supermarket.
Amplang baru dapat ditemukan di sejumlah warung maupun toko yang memang khusus menjual barang dan makanan khas daerah. Kalau pun kita datang membelinya, maka selalu muncul pertanyaan dari si penjual,”Untuk oleh-oleh ya, Pak?”
Positioning Amplang tampaknya memang sebagai oleh-oleh dari Kota Samarinda. Dan produsen Amplang cukup puas dengan positioning yang terbangun secara tradisional itu. Padahal, Amplang juga layak sebagai cemilan nonton TV, nonton di bioskop atau teman saat santai. Saya sendiri kerap menjadikan Amplang sebagai cemilan saat keluar kota melalui jalan darat. Enak kok!
Lantas, mengapa pasar Amplang tidak cukup kuat di daerah, dibanding cemilan negeri Cik gu (Pak guru-- bahasa Malaysia)? Padahal, cita rasa amplang cukup bersaing dengan cemilan negeri Cik gu yang relatif lebih asin. Pada konsumen pun, ada kebanggaan yang lebih ketika ngemil produk negeri Cik gu, ketimbang Amplang yang buatan lokal.
Kalau pertanyaan ini dialamatkan ke saya, maka saya selalu mengatakan bahwa produsen Amplang tidak cukup serius menggarap pasarnya, tidak didukung oleh manajemen modren, yang masih mengandalkan sistem bisnis turun temurun. Produsen Amplang mengenyampingkan persoalan upaya memenangkan pasar. Tak pernah bicara soal package (kemasan) dengan desain menarik, tak pernah bicara strategi komunikasi pemasaran untuk menanam brand di benak konsumen dan hal lain yang menunjang pemasaran produknya.
Pengusaha Amplang terlalu berserah diri pada positioning tradisional, yang terbentuk cukup lama bahwa Amplang makanan khas Samarinda yang cocok sebagai oleh-oleh. Maka, konsumennya adalah kaum pendatang yang pasarnya tak cukup besar.
Amplang hanyalah sebagai contoh sebuah produk daerah yang tak terjamah oleh ilmu marketing modern. Sebenarnya masih banyak produk daerah yang senasib dengan Amplang. Sebut saja terasi Bontang. Memang, ada keseriusan yang lebih pada Pemkot Bontang untuk memasarkan produk lokalnya, yakni dengan cara membuka counter makanan khas Bontang di Bandara Sepinggan Balikpapan. Bahkan terakhir Pemkot Bontang mencetak prestasi yang tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri), lewat pembuatan terasi raksasa saat pesta laut beberapa waktu lalu.
Sebuah brand activity (aktivitas brand) yang patut dihargai. Namun prestasi Muri belum cukup untuk membangun sebuah brand. Masih perlu upaya yang lebih serius lagi dalam menggarap pasar. Jika pasar digarap lebih serius, bisa saja suatu ketika nanti, terasi Bontang cukup dikenal senusantara. Belum enak sebuah makanan, kalau belum pakai terasi Bontang.
Saatnya pengusaha lokal (baca: Kaltim) memahami arti sebuah pasar yang harus digarap maksimal, untuk dapat bersaing dengan produk luar. Sudah saatnya pengusaha lokal bicara brand, untuk memenangkan persaingan tersebut. Karena dalam marketing, persaingan yang sebenarnya adalah merebut benak konsumen, lewat strategi komunikasi pemasaran yang tepat sasaran. Bisa saja suatu saat lahir sebuah tagline; Amplang, Gaul Gitu Loh!. (penulis adalah direktur utama Esa Communications, praktisi komunikasi pemasaran, tinggal di Samarinda. Email: ekosahus@yahoo.com)